• Narsis Tidak Dilarang

    Para ahli memperkiraan bahwa hanya ada 5% orang yang memiliki NPD. Dikutip dari Psych Central, laki-laki memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami NPD dibanding perempuan...

  • Cerita Hileud Jepang

    Semuanya bermula dari 20 tahun yang lalu...

  • My Bike My Pride

    Riding a motorcycle can be a great hobby for me. It can provide a sense of freedom and adventure, as well as an opportunity to enjoy the outdoors and explore new places...

20 September 2025

Resiliensi: Kekuatan Mental dari Rakyat Ekonomi Lemah

aLamathuR.com - Pernahkah kamu berpikir, di balik senyum dan tawa yang kita lihat setiap hari, ada banyak orang di Indonesia yang berjuang keras hanya untuk bertahan hidup? Mereka adalah rakyat dengan golongan ekonomi lemah—istilah yang mungkin terdengar formal, tapi merujuk pada mereka yang hidup dengan penghasilan terbatas dan penuh keterbatasan. Bagi kita yang hidup dalam kenyamanan, mungkin sulit membayangkan bagaimana mereka menemukan makna hidup. Namun, dari perspektif psikologis, justru dalam keterbatasan inilah arti hidup bisa ditemukan dan diperjuangkan dengan cara yang luar biasa.

Fenomena ini sejalan dengan konsep psikologi positif yang menekankan pada kekuatan dan resiliensi manusia. Salah satu teorinya, yaitu Teori Logoterapi dari Viktor Frankl, menyebutkan bahwa manusia dapat menemukan makna hidup bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. Frankl sendiri menemukan hal ini saat menjadi tahanan di kamp konsentrasi Nazi. Bagi rakyat dengan ekonomi lemah di Indonesia, makna hidup sering kali tidak dicari dalam pencapaian material, melainkan dalam hal-hal fundamental: menjaga keluarga, mengusahakan pendidikan untuk anak-anak, atau membangun solidaritas dengan sesama. Mereka berpegang pada harapan bahwa esok akan lebih baik, dan perjuangan mereka hari ini adalah jembatan menuju masa depan yang lebih cerah bagi keturunan mereka.

Penelitian psikologi terbaru di Indonesia turut menguatkan hal ini. Sebuah studi dari Jurnal Psikologi Sosial Universitas Indonesia yang diterbitkan pada awal tahun 2025 menunjukkan bahwa individu dari kelompok ekonomi marginal memiliki resiliensi yang luar biasa. Riset ini menyebutkan bahwa meskipun menghadapi tantangan berat, mereka mengembangkan strategi koping berbasis komunitas dan nilai-nilai spiritual yang kuat. Mereka tidak menyerah pada keadaan, melainkan menganggap kesulitan sebagai bagian dari proses untuk menjadi lebih tangguh. Pola pikir ini, yang dikenal sebagai post-traumatic growth, menunjukkan bahwa setelah mengalami trauma atau kesulitan, seseorang bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih berempati, dan lebih menghargai hidup.

Namun, bukan berarti hidup mereka tanpa beban. Beban psikologis seperti stres kronis, kecemasan, dan depresi tetap menjadi ancaman nyata. Keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan mental sering kali membuat mereka harus berjuang sendirian. Oleh karena itu, peran komunitas dan dukungan sosial menjadi sangat krusial. Dalam konteks ini, psikologi komunitas melihat bahwa solusi tidak hanya terletak pada individu, tetapi juga pada penguatan struktur sosial yang mendukung mereka. Ketika sebuah komunitas bergerak bersama, saling membantu dan menguatkan, beban berat akan terasa lebih ringan dan harapan untuk bangkit menjadi lebih nyata.

Pada akhirnya, kisah perjuangan rakyat dengan golongan ekonomi lemah di Indonesia adalah sebuah cerminan tentang makna hidup yang sesungguhnya. Itu adalah pengingat bahwa kebahagiaan tidak selalu bergantung pada harta benda, melainkan pada kemampuan untuk menemukan tujuan, menguatkan hubungan dengan orang lain, dan berjuang demi sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Kesadaran ini bukan hanya penting bagi mereka, tetapi juga bagi kita semua. Ini adalah pelajaran berharga tentang resiliensi, harapan, dan kemanusiaan yang bisa menginspirasi kita untuk lebih bersyukur dan peduli pada kondisi sekitar.



18 September 2025

Titik Temu: Eksistensi, Jati Diri, dan Makna Pencapaian

aLamathuR.com - Perjalanan hidup adalah sebuah panggung di mana setiap orang memainkan peran. Terkadang, kita begitu sibuk mengejar pencapaian duniawi, seolah-olah hidup ini adalah sebuah perlombaan tanpa garis akhir. Kita berlari mengejar karier yang gemilang, harta yang melimpah, dan pengakuan dari orang-orang di sekitar. Tanpa sadar, kita seringkali terperangkap dalam ilusi bahwa pencapaian-pencapaian ini akan mengisi kekosongan dalam diri kita. Namun, di balik semua hiruk pikuk itu, esensi dari perjalanan ini jauh lebih dalam. Kita sesungguhnya sedang berlayar mencari kompas hati—sebuah petunjuk untuk menemukan jati diri sejati kita, yang seringkali tenggelam di bawah tumpukan ambisi dan ekspektasi orang lain.

Pencapaian bukan hanya tentang meraih apa yang terlihat, melainkan tentang membangun fondasi diri yang kokoh. Ketika kita berjuang mencapai sebuah tujuan, kita sebenarnya sedang menempa karakter. Kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan batu loncatan yang mengajarkan kita ketangguhan. Setiap tantangan adalah cermin yang memantulkan siapa kita sebenarnya—seberapa besar kekuatan dan kelemahan kita. Dari proses inilah, kita mulai mengenal diri, menerima kekurangan, dan memupuk kelebihan. Dengan demikian, pencapaian-pencapaian itu bukan lagi sekadar medali yang dipamerkan, melainkan jejak-jejak langkah yang membentuk eksistensi kita.

Pencarian jati diri dan pencapaian tujuan pada akhirnya bermuara pada satu titik: kesiapan untuk kembali ke kehidupan abadi. Segala sesuatu yang kita kumpulkan di dunia—baik itu harta, jabatan, maupun pujian—hanyalah titipan sementara. Bekal yang sesungguhnya adalah kebaikan hati, ketulusan, dan pengalaman batin yang kita raih dari setiap perjuangan. Ketika kita memandang tujuan duniawi sebagai sarana untuk memperkaya jiwa, bukan sekadar memuaskan nafsu, kita akan menemukan makna yang lebih dalam. Harta bisa habis, jabatan bisa hilang, tetapi nilai-nilai luhur yang kita tanamkan dalam diri akan menjadi cahaya abadi yang menemani kita.

Dengan demikian, pencapaian tujuan sejati bukanlah tentang seberapa tinggi kita melompat, melainkan tentang seberapa dalam kita menyelam ke dalam diri. Ini adalah proses menyingkap tabir misteri kehidupan, di mana setiap langkah yang kita ambil adalah bagian dari mozaik besar yang kita ciptakan untuk diri sendiri. Jati diri yang kita temukan dan tujuan yang kita raih adalah bekal terbaik—satu-satunya bagasi yang bisa kita bawa—untuk melanjutkan perjalanan abadi. Oleh karena itu, mari kita jalani hidup ini dengan kesadaran penuh, menjadikan setiap pencapaian sebagai jembatan menuju pemahaman diri dan bekal untuk perjalanan pulang yang sesungguhnya.



15 September 2025

Jati Diri di Era Konflik dan Polaritas: Potret Dunia September 2025

aLamathuR.com - Bulan September 2025 menjadi saksi atas krisis global yang kian kompleks, dari isu lingkungan hingga konflik bersenjata. Survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga riset internasional seperti World Economic Forum, Ipsos, dan OECD menunjukkan adanya pergeseran fokus kekhawatiran masyarakat global. Jika beberapa tahun lalu isu ekonomi dan pandemi menjadi perhatian utama, kini dunia semakin diselimuti rasa cemas akibat ketidakstabilan politik dan perpecahan sosial. Laporan Global Risks Report 2025 menempatkan "konflik bersenjata antarnegara" sebagai risiko teratas dalam jangka pendek.

Fenomena ini juga terlihat dalam survei Ipsos, What Worries the World, yang menunjukkan kekhawatiran terhadap konflik bersenjata terus meningkat, terutama di kawasan yang bergejolak. Namun, paradoksnya, sebagian besar masyarakat justru semakin lelah dengan berita politik, sebagaimana terungkap dalam riset Reuters Institute. Kecenderungan ini menguat, terutama di kalangan generasi muda yang lebih memilih mencari informasi dari platform media sosial seperti TikTok. Mereka menghindari berita yang memicu perdebatan dan lebih tertarik pada konten yang ringan dan relevan dengan kehidupan sehari-hari, sebuah tren yang juga terlihat kuat di Indonesia.

Di Indonesia, hasil survei menunjukkan adanya dinamika politik yang kompleks pasca-pemilu 2024. Meskipun pemilu sudah usai, isu polarisasi politik masih menjadi tantangan utama. Survei oleh ResearchGate menyoroti bahwa generasi muda semakin kritis terhadap integritas kandidat, dan partisipasi perempuan dalam politik semakin meningkat. Namun, di sisi lain, masyarakat cenderung menghindari berita politik karena dianggap memicu perdebatan. Ini menciptakan celah di mana informasi yang tidak akurat (mis/disinformasi) dapat menyebar dengan mudah, dan hal ini menjadi salah satu risiko global teratas.

Situasi serupa juga terjadi di negara-negara yang menghadapi konflik langsung. Di Nepal, misalnya, laporan Nepal Country Inequality Report 2025 menyoroti bahwa ketidaksetaraan sosial dan politik semakin sistemik, diperparah oleh isu migrasi dan kerentanan terhadap perubahan iklim. Di sana, tantangan utama adalah bagaimana pemerintah bisa menjembatani kesenjangan ini di tengah ketidakstabilan politik internal. Sementara itu, di Palestina, survei terbaru oleh Palestinian Center for Policy and Survey Research (PCPSR) pada Mei 2025 menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat terbebani oleh perang yang berlarut-larut. Harapan akan gencatan senjata ada, tetapi ketidakpercayaan terhadap solusi politik terus membayangi.

Analisis dari OECD dalam laporannya, States of Fragility 2025, menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalami konflik, seperti Sudan, Sahel, dan sebagian wilayah Timur Tengah, menghadapi tantangan berat dalam hal stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi. Konflik-konflik ini sering kali dipicu oleh ketegangan geopolitik dan persaingan sumber daya. Masyarakat di wilayah-wilayah ini menjadi korban utama, kehilangan akses terhadap layanan dasar, dan mengalami penderitaan yang tak terbayangkan. Kondisi ini diperparah oleh polarisasi yang semakin mendalam, membuat penyelesaian konflik menjadi lebih sulit. Globalisasi dan kemudahan akses informasi, yang seharusnya menjadi alat pemersatu, justru sering dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi-narasi yang memecah belah, menciptakan dunia yang lebih terfragmentasi daripada sebelumnya.



03 September 2025

Generasi di Ujung Jari

aLamathuR.com - Dunia ini, kini, digerakkan oleh jemari. Lihatlah, mereka, generasi video pendek, anak-anak yang tumbuh bersama layar. Hidup mereka terbentang dalam hitungan detik, dalam klip-klip yang tak henti. Mereka adalah generasi TikTok, yang menari mengikuti irama yang berganti setiap hari, yang menemukan kebahagiaan dalam melodi yang singkat dan gambar yang memikat.

Namun, di balik layar yang cerah, ada kekhawatiran. Apakah kecepatan itu membuat mereka menjadi generasi tumpul pikir? Apakah mereka kehilangan kemampuan untuk merenung, untuk memahami sesuatu secara mendalam? Mereka juga adalah generasi cuan, yang dengan cepat belajar bahwa popularitas bisa diubah menjadi uang. Setiap klik, setiap like, adalah mata uang yang menjanjikan masa depan.

Dan di antara semua itu, mereka terbiasa dengan yang serba instan. Semua harus cepat, tanpa jeda. Tidak ada lagi proses yang panjang, tidak ada lagi kesabaran yang ditempa waktu. Kebahagiaan, kesuksesan, bahkan persahabatan, seolah bisa diunduh dalam sekejap.

Di sisi lain, kami, para orang tua, hanya bisa menatap cemas. Kami merasakan beban psikologis yang berat, seolah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kami ingin mereka mengeksplorasi dunia baru ini. Di sisi lain, kami takut mereka tersesat. Kami hanya ingin memastikan masa depan mereka terjaga dan cerah, seperti impian yang selalu kami rajut. Kami ingin mereka menjadi kuat, bijak, dan tidak mudah terpengaruh.

Media sosial bagai samudra luas. Ia bisa membawa mereka pada banyak hal baik: pengetahuan, kreativitas, dan koneksi. Tapi ia juga bisa menyeret mereka ke dalam arus yang berbahaya. Ini adalah tantangan kita bersama. Tugas kita bukan untuk menolak, melainkan untuk membimbing. Mengajari mereka berenang di samudra itu, agar mereka tidak hanya melihat permukaannya yang indah, tapi juga memahami arusnya yang bisa jadi mematikan. Kita harus mengingatkan mereka bahwa ada dunia di luar layar, dunia yang membutuhkan ketekunan, kesabaran, dan hati nurani. Dan di sanalah, masa depan yang sesungguhnya terukir.



02 September 2025

Jangan Kaget! Inilah Alasan Hidup Kita Tidak Sama

aLamathuR.com - Pernah tidak, kamu merasa hidup ini seperti permainan yang pengaturannya curang? Kita semua mulai dari garis start yang sangat berbeda. Ada yang lahir sudah di level tinggi dengan perlengkapan lengkap, sementara yang lain harus memulai dari nol, modalnya hanya tekad. Ini bukan hanya teori, ini realitas pahit yang kita lihat setiap hari: yang kaya semakin makmur, yang miskin semakin sulit bernapas.


Si Kaya yang Punya "Kode Curang"

Coba bayangkan, orang kaya itu seolah punya "kode curang" dalam hidup. Mereka bisa mengakses pendidikan terbaik, memiliki jaringan yang luas, dan modal untuk membangun bisnis. Kalaupun gagal, mereka punya jaring pengaman yang tebal sekali. Gagal di satu proyek? Ah, bisa coba lagi, uangnya toh tidak habis. Uang mereka bekerja untuk mereka, menghasilkan uang lagi, dan lagi. Inilah yang disebut "privilege". Mereka tidak perlu bekerja keras hanya untuk bertahan hidup, mereka bekerja untuk menggandakan kekayaan.


Si Miskin yang Bermain Tanpa Senjata

Di sisi lain, si miskin harus berjuang mati-matian hanya untuk bertahan. Bekerja keras dari pagi hingga malam, banting tulang, tapi hasilnya hanya cukup untuk makan hari itu. Tidak ada tabungan untuk masa depan, apalagi untuk investasi. Kalau sakit? Itu bencana. Tidak bisa bekerja sehari saja, bisa langsung kelaparan. Ini bukan soal mereka malas, tapi mereka terjebak dalam lingkaran setan yang sangat sulit diputus. Mereka tidak punya akses ke pendidikan yang bagus, tidak punya modal, dan setiap langkah yang mereka ambil, risikonya sangat besar.


Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tidak ada yang bilang ini mudah. Tapi, kita tidak bisa hanya diam dan mengeluh. Ironi ini seharusnya menjadi pemicu bagi kita. Mungkin tidak semua orang bisa mengubah sistem, tapi kita bisa mulai dari hal kecil. Bantu teman yang membutuhkan, sebarkan informasi tentang beasiswa atau pelatihan gratis, atau minimal, tidak usah sombong kalau kita punya lebih. Intinya, kita harus memiliki empati. Karena pada akhirnya, kita semua berada di bumi yang sama, di bawah langit yang sama. Mungkin kita tidak bisa membuat semua orang kaya, tapi kita bisa berusaha membuat hidup menjadi sedikit lebih adil.